Prasangka yang Mendarah Daging
Oleh: Puput Rahmawati
Benarkah yang diam itu
selalu benar? Betulkah sesuatu yang sunyi itu
tak pernah gencar? Atau apakah kesunyian itu nyata adanya atau hanya
berupa realita yang ditutup-tutupi. Semua bungkam saat ditanya. Banyak yang
tahu kalau mereka ada di sana, mereka hidup tapi menyebut diri mereka sebagai
saksi bisu. Lalu saat kita buka lembar-lembar masa lalu , kita temukan fakta
bahwa yang suci itu memang hanya milik Tuhan. Kebenaran yang ada benar-benar
palsu dan menipu. Maka bermunculanlah paradigma-paradigma terhadap pemerintah
atas kekecewaan masyarakat.
Barito selatan sepi akan
isu-isu terenggutnya hak warga. Absen dari daftar perkara politik yang
merepotkan KPK. Tapi benarkah kota ini bersih dari indikasi korup? Kejadian
korupsi BNI 46 cabang pembantu kota Buntok atas setoran nasabah sebesar Rp.
599.598.600,- (24/09/2004) membuka kembali mata warga Buntok yang pernah
mengelu-elukan kotanya sebagai kota bebas korup. Maka terjadilah kekecewaan
mendalam bagi setiap orang yang paham dalam bidang politik. Hakikinya perkara
korupsi itu amat melukai rasa keadilan masyarakat hingga tumbuhlah akar curiga
bahwa setiap seluk beluk pemerintah kota ini berbau korupsi.
Hampir setiap saat, kegiatan
pemerintah tak direspon baik oleh warganya. Sering terjadi sabotase yang
sayangnya dilakukan oleh kaum muda dengan dalih “ini uang kami juga yang
dikorupsi”. Sebenarnya disinilah peran pajak dimainkan, karena kemurnian itu
masih ada. Belum ada banyak bukti bahwa kabupaten ini pernah ternodai uang
korupsi dari pemerintah. Semuanya abstrak tapi masih kasat mata.
Apakah semua hanya pada
pemerintah? Benarkah hanya orang-orang besar yang berpotensi korupsi?
Jawabannya “ya” dan “tidak”. Ya, karena uang yang ada di depan mata begitu
menggiurkan. Tidak, karena “syarat” untuk korupsi bukanlah jabatan namun uang.
Maka dapat dikatakan semua dapat korupsi, setiap orang selama ada kesempatan
mungkin akan tergoda dengan lembaran merah muda yang menjanjikan keglamoran
hidup mewah itu. Sekarang tinggal keinginan kita lah. Intinya ada pada rasa
kesadaan diri, sanggupkah kita bertahan di antara tatapan murka setiap orang
dan kenyang dengan makanan yang semua orang mengharamkannya.
Perlahan sikap intimidasi
itu mulai surut, endusan-endusan curiga yang sering dilakukan mulai menghilang.
Tapi semua itu masih tidak seutuhnya hilang. Tak mudah memusnahkan sesuatu yang
meresap sampai ke daging-daging.
Kebersihan hati akan sangat
dibutuhkan untuk kemajuan kota ini. Sebagai kabupaten paling tertinggal di
Kalimantan Tengah, kita patut bergerak maju bukan hanya diam di tempat dan
bangga akan prestasi-prestasi yang sudah ada. Tapi apa yang bisa dimajukan,
kalau orang-orangnya masih mengintip di balik lobang kecil dengan prasangka
antah berantah yang tak kunjung sembuh. Diam-diam berbisik dari satu telinga ke
telinga lain hingga sampailah kabar itu ke wilayah lain dan Barito Selatan
menjadi semakin galau akan hawa panas yang mengganggu prosenya menuju kesejahteraan.
Semua itu juga jadi faktor terhambatnya kesejahteraan kota Buntok. Dan
keduanya(korupsi dan isu yang beredar) merupakan analogi yang sulit dicari
solusinya.
Sejak dulu sampai sekarang
sebuah kesimpulan lama masih terpakai oleh seluruh orang di belahan bumi, bahwa
mencegah lebih baik dari mengobati. Tapi itu hanya untuk sakit yang berupa
fisik. Sedangkan kekecewaan warga Buntok sudah berbeda klasifikasinya. Peran
yang terjadi adalah antara menghindari dan memberantas. Menghindar bukan solusi
yang tepat, tapi apa yang bisa diperbuat dengan memberantas? Melakukan
kekerasan, intimidasi, atau sabotase seperti yang pernah dilakukan? Bagaimana
kalau pelakunya seseorang yang hanya merugikn 2-5 kepala? Sampai sinilah
keadilan Kabupaten Barito Selatan dipertanyakan, hal kecil tak boleh diabaikan
demi mencapai tujuan besar. Seperti yang pernah ditulis oleh Rif’an pada salah
satu artikelnya bahwa korupsi adalah
pelanggaran HAM (Opini Republika). Karena besar kecilnya kesalahan
seseorang dinilai dari “apa yang direnggutnya dari tindakan tercela itu”.
Beberapa hal yang sebaiknya
diwujudkan kabupaten Barito Selatan untuk mencapai kota sejahtera bebas
korupsi: pertama, konsisten
trhadap aturan yang terdapat pada UU
tentang hukuman bagi pelaku korupsi/kejahatan sebab kebanyakan dari pelaku
kejahatan di kota ini terlalu meremehkan hukum yang ada. Dan seperti biasa,
uang sekali bertindak seribu batang besi di penjara akan terlepas.
Kedua, adanya
hukum yang adil dan jelas sehingga setiap orang benar-benar yakin bahwa hukuman
dari korupsi memang besar. Ketiga,
tidak adanya perkara yang ditutup-tutupi sehingga warga ini akan saling terbuka
dan terciptalah keharmonisan dalam satu wilayah kecil. Dan agar anak-anak muda
di sini tahu arti dari keberadaannya sebagai generasi penerus melalui kedamaian
lingkungan yang bebas dari korupsi. Keempat,
menerapkan keadilan dalam penggajian pegawai agar tidak ada pihak yang merasa
tidak puas hingga tergiur untuk merampas hak orang lain. Kelima, bagi remaja kehadiran sosialisasi tentang korupsi sangat
berarti. Hanya karena korupsi merupakan bagian dari ilmu politik tidak berarti
hal itu sangat sulit dicerna oleh remaja sebab berita korupsi hamper tiap hari
mengisi acara liputan kejadian di Indonesia dan sebagai berita yang selalu
hangat di media massa. Maka kata korupsi, istilah, bahakan para pelakunya sudah
tak asing lagi bagi remaja. Lagi pula jiwa-jiwa muda itulah yang nantinya akan
menentukan nasib kota kecil yang merupakan bagian dari negara terkorup di
dunia. Sebuah kenyataan pahit yang harus ditelan mentah-mentah bila para
pemuda(i)nya gagap akan penjelasan tentang korupsi dan akhirnya malah menjadi
pelakunya.
Semuanya bukan masalah
kebutuhan tapi keinginan. Barito Selatan yang mayoritas para tetuanya
orang-orang kolot tapi cerdas memilik asumsi yang berbeda dari kebanyakan orang
di Indonesia. Korupsi atau tidaknya orang-orang di kota ini bukan masalah
selama tidak merugikannya dan ‘masa bodo’ dengan keseahteraan bersama. Naasnya
persepsi keliru itu ada yang menjalar samai ke anak cucu. Kalau ada yang tidak terpengaruh, ya seperti yang saya katakan di
atas itulah hasilnya, berprasangka yang tidak-tidak. Mereka hanya merespon dari
kabar yang terbang sampai ketelinganya.
Tindakan korupsi bukan
sesuatu yang menakutkan sebab sudah terlalu sering didengar sehingga menjadi
‘basi’, namun reaksi yang ditunjukan selalu sesuatu yang baru, hanya kadarnya
lah yang berbeda. Permasalahan dari korupsi tak kan pernah ada habisnya,
semakin lama semakin banyak bermunculan ‘Gayus’-‘Gayus’ baru karena kurangnya
keadilan di Negeri ini, tapi semoga saja si Gayus itu tidak muncul dari kota
kita, Barito Selatan yang ‘lugu’.
Apa lagi yang kita tunggu?
Apakah kita sedang menunggu nasib yang akan membawa kota ini ke masa berjaya?
Ini seperti menunggu BMW mewah dengan setir, SIM, dan perlengkapan keamanan
yang sudah tersedia untuk mengantar kita kesuatu tempat indah. Semua percuma!
Percuma kalau tak kita sentuh kemudinya. Den setelah itu tetap percuma! Percuma
kalau tidak kita nyalakan mesinnya dan mengemudikannya.
Sebenarnya Barito Selatan
tak butuh uang banyak untuk membeli kesejahteraan. Ada sebagian besar orang
yang hanya butuh kekompakan untuk sejahtera. Apakah kita salah satu di
antaranya? Kalau iya mari bergerak! Tak usah mati-matian menuntut keadilan.
Keadilan sudah sangat mahal di negeri ini, kini hanya kitalah jiwa-jiwa yang
menentukan nasibnya masing-masing.
Kabupaten ini lingkungannya
hanya berupa ruang lingkup kecil yang komunitasnya masih bisa dihitung. Kita
bisa sebab kita selalu berusaha. Kita berjaya sebab kita bebas dari noda. Lalu
apa yang harus ditakutkan? Buang saja prasangka-prasangka yang justru membunuh
kita secara perlahan. Moral yang dilahapnya tak sebanding dengan timbaan emosi
yang dilemparkannya. Kita warga yang berbahagia tapi tak berbangga diri,
sehingga sangat tak bisa dikatakan sejahtera. Sekarang yang bisa dilakukan
adalah membiarkan pemerintah bertindak dan kita mendukungnya. Memberantas
korupsi yang ingin mencederai keutuhan kota kita dan mengkoreksi diri
masing-masing. Kita punya tanggung jawab besar sebagai manusia dan kita berhak
sejahtera dengan tanggung jawab itu.
Kesejahteraan yang
diupayakan pemerintah mungkin bukan kesejahteraan abadi, tapi selalu perubahan
setiap warganya menjadi penentu utama berhasil tidaknya pelaksanaan ini. Apa
hubungan semua ini dengan kasus korupsi? Seperti yang saya katakan sebelumnya,
tindakan korupsi akan mempengaruhi paradigma setiap orang, dan semua itu
cenderung negative. Sedangkan kita tahu, sesuatu yang negative tidak akan
menghasilkan sesuatu yang positif, bahkan dalam ilmu Matematika pun apabila negative
ditambah negative malah akan bertambah jumlah negatifnya, bukan jadi positif
(-1 + -1 = -2).
Salam hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar