Senin, 02 April 2012

Artikel Juara Lomba


Prasangka yang Mendarah Daging

Oleh: Puput Rahmawati

Benarkah yang diam itu selalu benar? Betulkah sesuatu yang sunyi itu  tak pernah gencar? Atau apakah kesunyian itu nyata adanya atau hanya berupa realita yang ditutup-tutupi. Semua bungkam saat ditanya. Banyak yang tahu kalau mereka ada di sana, mereka hidup tapi menyebut diri mereka sebagai saksi bisu. Lalu saat kita buka lembar-lembar masa lalu , kita temukan fakta bahwa yang suci itu memang hanya milik Tuhan. Kebenaran yang ada benar-benar palsu dan menipu. Maka bermunculanlah paradigma-paradigma terhadap pemerintah atas kekecewaan masyarakat.
Barito selatan sepi akan isu-isu terenggutnya hak warga. Absen dari daftar perkara politik yang merepotkan KPK. Tapi benarkah kota ini bersih dari indikasi korup? Kejadian korupsi BNI 46 cabang pembantu kota Buntok atas setoran nasabah sebesar Rp. 599.598.600,- (24/09/2004) membuka kembali mata warga Buntok yang pernah mengelu-elukan kotanya sebagai kota bebas korup. Maka terjadilah kekecewaan mendalam bagi setiap orang yang paham dalam bidang politik. Hakikinya perkara korupsi itu amat melukai rasa keadilan masyarakat hingga tumbuhlah akar curiga bahwa setiap seluk beluk pemerintah kota ini berbau korupsi.
Hampir setiap saat, kegiatan pemerintah tak direspon baik oleh warganya. Sering terjadi sabotase yang sayangnya dilakukan oleh kaum muda dengan dalih “ini uang kami juga yang dikorupsi”. Sebenarnya disinilah peran pajak dimainkan, karena kemurnian itu masih ada. Belum ada banyak bukti bahwa kabupaten ini pernah ternodai uang korupsi dari pemerintah. Semuanya abstrak tapi masih kasat mata.
Apakah semua hanya pada pemerintah? Benarkah hanya orang-orang besar yang berpotensi korupsi? Jawabannya “ya” dan “tidak”. Ya, karena uang yang ada di depan mata begitu menggiurkan. Tidak, karena “syarat” untuk korupsi bukanlah jabatan namun uang. Maka dapat dikatakan semua dapat korupsi, setiap orang selama ada kesempatan mungkin akan tergoda dengan lembaran merah muda yang menjanjikan keglamoran hidup mewah itu. Sekarang tinggal keinginan kita lah. Intinya ada pada rasa kesadaan diri, sanggupkah kita bertahan di antara tatapan murka setiap orang dan kenyang dengan makanan yang semua orang mengharamkannya.
Perlahan sikap intimidasi itu mulai surut, endusan-endusan curiga yang sering dilakukan mulai menghilang. Tapi semua itu masih tidak seutuhnya hilang. Tak mudah memusnahkan sesuatu yang meresap sampai ke daging-daging.
Kebersihan hati akan sangat dibutuhkan untuk kemajuan kota ini. Sebagai kabupaten paling tertinggal di Kalimantan Tengah, kita patut bergerak maju bukan hanya diam di tempat dan bangga akan prestasi-prestasi yang sudah ada. Tapi apa yang bisa dimajukan, kalau orang-orangnya masih mengintip di balik lobang kecil dengan prasangka antah berantah yang tak kunjung sembuh. Diam-diam berbisik dari satu telinga ke telinga lain hingga sampailah kabar itu ke wilayah lain dan Barito Selatan menjadi semakin galau akan hawa panas yang mengganggu prosenya menuju kesejahteraan. Semua itu juga jadi faktor terhambatnya kesejahteraan kota Buntok. Dan keduanya(korupsi dan isu yang beredar) merupakan analogi yang sulit dicari solusinya.
Sejak dulu sampai sekarang sebuah kesimpulan lama masih terpakai oleh seluruh orang di belahan bumi, bahwa mencegah lebih baik dari mengobati. Tapi itu hanya untuk sakit yang berupa fisik. Sedangkan kekecewaan warga Buntok sudah berbeda klasifikasinya. Peran yang terjadi adalah antara menghindari dan memberantas. Menghindar bukan solusi yang tepat, tapi apa yang bisa diperbuat dengan memberantas? Melakukan kekerasan, intimidasi, atau sabotase seperti yang pernah dilakukan? Bagaimana kalau pelakunya seseorang yang hanya merugikn 2-5 kepala? Sampai sinilah keadilan Kabupaten Barito Selatan dipertanyakan, hal kecil tak boleh diabaikan demi mencapai tujuan besar. Seperti yang pernah ditulis oleh Rif’an pada salah satu artikelnya bahwa korupsi adalah pelanggaran HAM (Opini Republika). Karena besar kecilnya kesalahan seseorang dinilai dari “apa yang direnggutnya dari tindakan tercela itu”.
Beberapa hal yang sebaiknya diwujudkan kabupaten Barito Selatan untuk mencapai kota sejahtera bebas korupsi: pertama, konsisten trhadap  aturan yang terdapat pada UU tentang hukuman bagi pelaku korupsi/kejahatan sebab kebanyakan dari pelaku kejahatan di kota ini terlalu meremehkan hukum yang ada. Dan seperti biasa, uang sekali bertindak seribu batang besi di penjara akan terlepas.
Kedua, adanya hukum yang adil dan jelas sehingga setiap orang benar-benar yakin bahwa hukuman dari korupsi memang besar. Ketiga, tidak adanya perkara yang ditutup-tutupi sehingga warga ini akan saling terbuka dan terciptalah keharmonisan dalam satu wilayah kecil. Dan agar anak-anak muda di sini tahu arti dari keberadaannya sebagai generasi penerus melalui kedamaian lingkungan yang bebas dari korupsi. Keempat, menerapkan keadilan dalam penggajian pegawai agar tidak ada pihak yang merasa tidak puas hingga tergiur untuk merampas hak orang lain. Kelima, bagi remaja kehadiran sosialisasi tentang korupsi sangat berarti. Hanya karena korupsi merupakan bagian dari ilmu politik tidak berarti hal itu sangat sulit dicerna oleh remaja sebab berita korupsi hamper tiap hari mengisi acara liputan kejadian di Indonesia dan sebagai berita yang selalu hangat di media massa. Maka kata korupsi, istilah, bahakan para pelakunya sudah tak asing lagi bagi remaja. Lagi pula jiwa-jiwa muda itulah yang nantinya akan menentukan nasib kota kecil yang merupakan bagian dari negara terkorup di dunia. Sebuah kenyataan pahit yang harus ditelan mentah-mentah bila para pemuda(i)nya gagap akan penjelasan tentang korupsi dan akhirnya malah menjadi pelakunya.
Semuanya bukan masalah kebutuhan tapi keinginan. Barito Selatan yang mayoritas para tetuanya orang-orang kolot tapi cerdas memilik asumsi yang berbeda dari kebanyakan orang di Indonesia. Korupsi atau tidaknya orang-orang di kota ini bukan masalah selama tidak merugikannya dan ‘masa bodo’ dengan keseahteraan bersama. Naasnya persepsi keliru itu ada yang menjalar samai ke anak cucu. Kalau ada yang tidak  terpengaruh, ya seperti yang saya katakan di atas itulah hasilnya, berprasangka yang tidak-tidak. Mereka hanya merespon dari kabar yang terbang sampai ketelinganya.
Tindakan korupsi bukan sesuatu yang menakutkan sebab sudah terlalu sering didengar sehingga menjadi ‘basi’, namun reaksi yang ditunjukan selalu sesuatu yang baru, hanya kadarnya lah yang berbeda. Permasalahan dari korupsi tak kan pernah ada habisnya, semakin lama semakin banyak bermunculan ‘Gayus’-‘Gayus’ baru karena kurangnya keadilan di Negeri ini, tapi semoga saja si Gayus itu tidak muncul dari kota kita, Barito Selatan yang ‘lugu’.
Apa lagi yang kita tunggu? Apakah kita sedang menunggu nasib yang akan membawa kota ini ke masa berjaya? Ini seperti menunggu BMW mewah dengan setir, SIM, dan perlengkapan keamanan yang sudah tersedia untuk mengantar kita kesuatu tempat indah. Semua percuma! Percuma kalau tak kita sentuh kemudinya. Den setelah itu tetap percuma! Percuma kalau tidak kita nyalakan mesinnya dan mengemudikannya.
Sebenarnya Barito Selatan tak butuh uang banyak untuk membeli kesejahteraan. Ada sebagian besar orang yang hanya butuh kekompakan untuk sejahtera. Apakah kita salah satu di antaranya? Kalau iya mari bergerak! Tak usah mati-matian menuntut keadilan. Keadilan sudah sangat mahal di negeri ini, kini hanya kitalah jiwa-jiwa yang menentukan nasibnya masing-masing.
Kabupaten ini lingkungannya hanya berupa ruang lingkup kecil yang komunitasnya masih bisa dihitung. Kita bisa sebab kita selalu berusaha. Kita berjaya sebab kita bebas dari noda. Lalu apa yang harus ditakutkan? Buang saja prasangka-prasangka yang justru membunuh kita secara perlahan. Moral yang dilahapnya tak sebanding dengan timbaan emosi yang dilemparkannya. Kita warga yang berbahagia tapi tak berbangga diri, sehingga sangat tak bisa dikatakan sejahtera. Sekarang yang bisa dilakukan adalah membiarkan pemerintah bertindak dan kita mendukungnya. Memberantas korupsi yang ingin mencederai keutuhan kota kita dan mengkoreksi diri masing-masing. Kita punya tanggung jawab besar sebagai manusia dan kita berhak sejahtera dengan tanggung jawab itu.
Kesejahteraan yang diupayakan pemerintah mungkin bukan kesejahteraan abadi, tapi selalu perubahan setiap warganya menjadi penentu utama berhasil tidaknya pelaksanaan ini. Apa hubungan semua ini dengan kasus korupsi? Seperti yang saya katakan sebelumnya, tindakan korupsi akan mempengaruhi paradigma setiap orang, dan semua itu cenderung negative. Sedangkan kita tahu, sesuatu yang negative tidak akan menghasilkan sesuatu yang positif, bahkan dalam ilmu Matematika pun apabila negative ditambah negative malah akan bertambah jumlah negatifnya, bukan jadi positif (-1 + -1 = -2).
Salam hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar