Selasa, 01 Mei 2012

Contoh Cerpen Untuk Lomba


(Cerpen ini sudah diterbitkan karena masuk seleksi, untuk sekedar contoh buat teman-teman yang bingung cara membuat cerpen kriteria lomba)

Dua Warna di Duniaku

A
pabila angin adalah waktu yang terbuang percuma dalam hidup manusia. Maka dedaunan kering yang berjatuhan dan terbawa olehnya adalah perumpamaan atas diriku.  Hatiku ngilu menyaksikan takdir yang Ia goreskan pada hidupku penuh tikungan-tikungan yang setiap ujungnya memiliki banyak cabang. Setiap aku tiba di satu tikungan, lagi-lagi aku harus memilih.
Andai jalan itu menjelma jadi aliran sungai, aku tidak akan sebimbang ini. Aku hanya perlu mengambangkan diriku di arusnya dan ia akan membawaku ke tujuan yang sama. Lautan. Tempat membusuknya jiwa-jiwa manusia. Tapi penerapan hidup ini tidak sesederhana itu. Tuhan yang begitu cerdas tidak akan menciptakan teka-teki yang mudah dipecahkan.  Dia buat sang anak sungai tidak berarus. Hingga kami harus mendayung sendiri sampan yang Ia lekatkan pada setiap jiwa makhluk-Nya. Tak pandang bulu.
Di saat aku tenggelam dalam kebingungan ini hidayah-Nya menyentuh kalbuku. Tapi itu hanya sentuhan hangat yang mencoba membangkitkan gairah. Atau lebih kutafsirkan sebagai desakan agar aku mendayung lebih cepat. Hingga kesabaran yang aku kantungi di saku kecilku tercecer. Bisa pula terbakar panas hati yang lelah mendayung. Kubanting pengayuh, kupatahkan, tenggelam dalam tangis yang memenuhi rongga dadaku. Sementara satu per satu lawan mainku mendahuluiku.
Pengajaran Pertama
Segala sikap frustasi itu pertama kali kualami saat aku balita. Perbandingan usia dengan sakit yang tidak sesuai membuatku semakin matang dalam berpikir. Mencicipi tekanan saat muda mengajarkanku untuk lebih awal angkat senjata bersiap hadapi masa depan.
“Rol, kita main yuk!” ajak teman-temanku.
Saat itu aku masih sibuk dengan urusanku. Maka dengan tegas aku menggeleng. Teman-teman tampak kecewa dan itu membuatku meras tidak enak. Segera kutemui mereka dan ikut bermain. Awalnya semua tampak ceria dengan permainan-permainan unik. Sampai sebuah kesalahan kecil kulakukan. Salah seorang teman mainku menangis memanggil ibunya.
“Kenapa sayang?” ibu dari anak itu datang.
Sambil terus menangis ia mengadu.
“Rolla menyikutku…sakit bu.” Katanya.
Aku gemetar karena diposisikan sebagai terdakwa cilik. Mungkin aku akan mendapat cubitan seperti yang sering ibu lakkukan kalau aku berbuat salah. Wanita itu menoleh ke arahku.
“Ck, anak nakal. Minta maaf sama Ana ya,” kata wanita itu sambil membelaiku.
Tangan itu hangat menyentuh pipiku. Sukmaku bergetar. Ibu tidak pernah melakukan hal kasih seperti ini padaku. Tapi entah atas perintah apa leherku menggeleng. Bibir mungilku berucap lantang.
“Dia sendiri yang meloncat ke punggungku. Aku merasa terganggu, dia yang cengeng.”
Tangan yang masih menempel di pipiku seketika berubah kejam mencubitku.
“Anak nakal!” katanya lalu membawa putrinya pergi.
Aku termenung di tempat. Mencerna ucapan wanita itu. Anak nakal. Benarkah aku nakal? Sementara satu per satu teman-teman meninggalkanku, air mata menetes di luar perintah.
Aku Sedang Berfikir, Jangan Tanya Aku!
Waktu hanya mampu memakan usia. Tapi ia tidak punya kuasa menghapus kenangan yang pernah tertulis. Cerita lama yang dibukukan dalam sejarah hidupku. Bahwa Rolla Rahmawati masa kecilnya dihiasi oleh dua warna. Hitam dan putih. Warna yang mmenuntut ketegasan pemakainya. Antara jahat dan baik, iya atau tidak, mati atau hidup. Dan inilah yang kubenci dari hidup. Disaat aku harus memilih.
“Rolla, kamu lulus SMA nanti kuliah di mana?” tanya Lia sahabatku.
Aku sedang memperhatikan burung pipit yang bertengger di kabel listrik saat Lia mengucapkan kalimat yang sudah bosan kudengar.
“Rol? Rolla?” panggil Lia.
Aku mengalihkan pandanganku ke gadis cantik itu. Dia tampak kesal.
“Kamu kenapa sih? Asyik ya melamun itu?” nada suaranya terdengar kesal.
“Aku sedang mencari inspirasi dari alam,” sahutku. “Kamu mau tanya apa tadi?” sambungku.
“Setelah ini mau masuk apa?” ulangnya lalu menghela nafas.
Aku terdiam sejenak. Meskipun bukan pertanyaan asing namun aku perlu berfikir untuk menjawabnya.
“Entahlah. Semua terlalu rumit untuk direncanakan sekarang,” jawabku.
Lia terlihat tidak puas dengan jawabanku. Sama seperti yang lain.
“Rumit bagaimana?” tanyanya.
Aku menatap bola matanya yang menghujam balik mataku. Kembali sukmaku bergetar.
“Semuanya…gelap” jawabku.
Lia tidak menghujaniku dengan pertanyaan selanjutnya. Ia terdiam setelah mendengar jawabanku. Sesekali sambil membaca ia melirik ke arahku.
Aku ikut membaca bukuku. Aku sedikit terganggu dengan kertas yang basah. Tapi air itu tidak mampu kutampung. Bahkan tanganku gemetar saat aku memaksa. Di sebelahku Lia masih memperhatikan tingkahku. Sampai guru masuk kejanggalan itu baru berakhir.
Pelajaran berlangsung. Rohku melayang ke dunia lain. Tanah lapang yang menyejukkan jiwa. Di sana aku tidak perlu bekerja. Yang kubutukan hanya dosis imajinasi yang sesuai takaran. Dunia mimpi. Meski banyak warna namun tidak membingungkanku. Meski menantang tidak membuatku jatuh. Dunia malas di mana aku adalah ‘tuhan’ atas diriku. Tuhan, tolong berikan aku dunia itu. Atau ciptakan aku control atas diriku. Agar aku mampu menentukan arahku dalam melangkah. Segalanya tampak tidak pasti sebelum aku sempat mengayunkan kaki. Aku tidak suka tenggelam dalam ketidakpastian.
“Rolla!” bentakan itu menarik paksa rohku kembali ke sebuah ruang penjamin masa depan.
Setelah kubuka mataku , seisi ruangan sedang memperhatikanku. Dan seorang guru yang mengahadapkan wajahnya yang memerah di depanku.
“Ikut saya ke kantor,” katanya.
“Aku Sang Pemimpi”. Tulisan itu dia gantungkan di leherku. Dan di depan seluruh siswa, aku dipaksa berdiri melawan terik matahari. Di antara para penonton kulihat Lia memandangku dengan iba. Aku membalas tatapannya. Lalu dia berjalan ke arahku.
“Rol, kamu tahu apa salahmu?” tanyanya membuatku semakin gerah.
Terik matahari sangat membakar kulitku. Aku mengacuhkannya.
“Kau sering bolos. Apalagi pelajaran PKn dan agama,” katanya masih tidak kutanggapi.
“Rol!” katanya.
“Aku tidak tahu, tanyakan saja pada Tuhan! Bukankah Dia serba tahu!” jawabku berteriak menarik perhatian siswa lain.

“Aargghh… sialan!” makiku sambil membanting ransel di kamar.
Entah siapa yang kumaki. Saat ini yang kurasakan hanyalah marah. Di sekolah Lia terlalu mendikteku. Guru terlalu mengaturku. Semua tidak bisa mengerti aku. Bahkan diriku pun tidak tahu apa mauku. Aku benci kebimbangan. Berikan aku warna yang pasti!
Aku meringkuk di kasur. Mandiri mengontrol emosi. Urat-urat kepalaku menegang. Semuanya tampak gelap. Tuhan, apakah warnaku hitam?
Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Rolli, kamu kenapa?” suara ibu terdengar khawatir di balik pintu.
“Tidak apa bu, saya sedang sakit gigi,” jawabku.
“Jangan lupa sholat ya,”  kata ibu.
Seketika tubuhku kembali memanas. Jantungku berpacu lebas kendali.
“Ah, malas!” sahutku lalu membenamkan wajah ke bantal.
Suara ibu tidak terdengar lagi.
“Ibu?” panggilku.
“Mau jadi apa kamu kalau lupa pada Tuhanmu?” kata ibu disusul langkah kaki  menjauh dari kamar.
Aku terhenyak. Entahlah ibu, pertanyaanmu sama sepert teman-teman. Aku tidak membicarakan masa depan. Aku sedang bingung dalam melangkah. Tidak bisakah kau bantu aku memilih? Agar aku tidak berada di jalan yang salah. Biar aku tahu aku akan jadi apa. Tuhan, aku ini apa?
Warna itu Ada di Jiwamu
Hidup adalah pilihan. Kita hidup untuk memilih. Kalau tidak bisa, tidak mampu, tidak berani memilih maka lebih baik mati. Filosofi kehidupan yang kupelajari semakin menghimpit keadaanku. Dan semua semakin gulita ketika kuketahui diriku diriku mengidap skizofrenia. Penyakit jiwa yang membuatku semakin tidak mengenal diriku sendiri.
“Kamu ini sebenarnya bagaimana?” Tanya orang sekitar.
Si pemilik jiwa ini bahkan tidak mengenal sifatnya. Aku tidak tahu aku akan jadi apa. Aku bingung saat ini aku apa. Tuhan, untuk kali ini jangan pinta aku memilih.

Tuhan, apa benar kau meniupkan ruh di jasad yang tepat. Ataukah tinta takdir-Mu sempat macet saat menulis kisahku? Kenapa aku harus tenggelam dalam lautan tanya tentang siapa aku. Apakah aku si putih yang selalu suci dalam setiap hal? Atau manusia yang tenggelam dalam gelapnya hitam?
Untuk pertama kalinya aku tidak berdusta dalam menangis. Aku gelisah. Aku lebih benci kalau salah memilih. Batinku mengerang menangis keras. Disaat kalbuku benar-benar jatuh kurasakan sepasang tangan mendekapku dari belakang. Dia berbisik.
“Ambil kembali kayuh itu anakku. Siapa tahu kau akan temukan kitab hidupmu di salah satu pulau persinggahan. Mungkin saja Tuhan selipkan di antara riak air yang kau dayung. Jangan tenggelam bersama sampanmu di tengah sungai. Biarkan ia tiba di laut. Selanjutnya lihat apa yang takdirmu lakukan. Jangan tanya kau siapa. Bagiku kau anakku, bagi-Nya kau hamba-Nya, apa lagi yang kau tanyakan? Bagaimana kau bisa tahu jawabannya kalau kau tidak melangkah?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar