(Cerpen
ini sudah diterbitkan karena masuk seleksi, untuk sekedar contoh buat
teman-teman yang bingung cara membuat cerpen kriteria lomba)
Dua Warna di Duniaku
A
|
pabila
angin adalah waktu yang terbuang percuma dalam hidup manusia. Maka dedaunan
kering yang berjatuhan dan terbawa olehnya adalah perumpamaan atas diriku. Hatiku ngilu menyaksikan takdir yang Ia
goreskan pada hidupku penuh tikungan-tikungan yang setiap ujungnya memiliki
banyak cabang. Setiap aku tiba di satu tikungan, lagi-lagi aku harus memilih.
Andai
jalan itu menjelma jadi aliran sungai, aku tidak akan sebimbang ini. Aku hanya
perlu mengambangkan diriku di arusnya dan ia akan membawaku ke tujuan yang
sama. Lautan. Tempat membusuknya jiwa-jiwa manusia. Tapi penerapan hidup ini
tidak sesederhana itu. Tuhan yang begitu cerdas tidak akan menciptakan
teka-teki yang mudah dipecahkan. Dia
buat sang anak sungai tidak berarus. Hingga kami harus mendayung sendiri sampan
yang Ia lekatkan pada setiap jiwa makhluk-Nya. Tak pandang bulu.
Di
saat aku tenggelam dalam kebingungan ini hidayah-Nya menyentuh kalbuku. Tapi
itu hanya sentuhan hangat yang mencoba membangkitkan gairah. Atau lebih
kutafsirkan sebagai desakan agar aku mendayung lebih cepat. Hingga kesabaran
yang aku kantungi di saku kecilku tercecer. Bisa pula terbakar panas hati yang
lelah mendayung. Kubanting pengayuh, kupatahkan, tenggelam dalam tangis yang
memenuhi rongga dadaku. Sementara satu per satu lawan mainku mendahuluiku.
Pengajaran
Pertama
Segala
sikap frustasi itu pertama kali kualami saat aku balita. Perbandingan usia
dengan sakit yang tidak sesuai membuatku semakin matang dalam berpikir. Mencicipi
tekanan saat muda mengajarkanku untuk lebih awal angkat senjata bersiap hadapi
masa depan.
“Rol,
kita main yuk!” ajak teman-temanku.
Saat
itu aku masih sibuk dengan urusanku. Maka dengan tegas aku menggeleng.
Teman-teman tampak kecewa dan itu membuatku meras tidak enak. Segera kutemui
mereka dan ikut bermain. Awalnya semua tampak ceria dengan permainan-permainan
unik. Sampai sebuah kesalahan kecil kulakukan. Salah seorang teman mainku
menangis memanggil ibunya.
“Kenapa
sayang?” ibu dari anak itu datang.
Sambil
terus menangis ia mengadu.
“Rolla
menyikutku…sakit bu.” Katanya.
Aku
gemetar karena diposisikan sebagai terdakwa cilik. Mungkin aku akan mendapat
cubitan seperti yang sering ibu lakkukan kalau aku berbuat salah. Wanita itu
menoleh ke arahku.
“Ck,
anak nakal. Minta maaf sama Ana ya,” kata wanita itu sambil membelaiku.
Tangan
itu hangat menyentuh pipiku. Sukmaku bergetar. Ibu tidak pernah melakukan hal
kasih seperti ini padaku. Tapi entah atas perintah apa leherku menggeleng.
Bibir mungilku berucap lantang.
“Dia
sendiri yang meloncat ke punggungku. Aku merasa terganggu, dia yang cengeng.”
Tangan
yang masih menempel di pipiku seketika berubah kejam mencubitku.
“Anak
nakal!” katanya lalu membawa putrinya pergi.
Aku
termenung di tempat. Mencerna ucapan wanita itu. Anak nakal. Benarkah aku
nakal? Sementara satu per satu teman-teman meninggalkanku, air mata menetes di
luar perintah.
Aku
Sedang Berfikir, Jangan Tanya Aku!
Waktu
hanya mampu memakan usia. Tapi ia tidak punya kuasa menghapus kenangan yang
pernah tertulis. Cerita lama yang dibukukan dalam sejarah hidupku. Bahwa Rolla
Rahmawati masa kecilnya dihiasi oleh dua warna. Hitam dan putih. Warna yang
mmenuntut ketegasan pemakainya. Antara jahat dan baik, iya atau tidak, mati
atau hidup. Dan inilah yang kubenci dari hidup. Disaat aku harus memilih.
“Rolla,
kamu lulus SMA nanti kuliah di mana?” tanya Lia sahabatku.
Aku
sedang memperhatikan burung pipit yang bertengger di kabel listrik saat Lia
mengucapkan kalimat yang sudah bosan kudengar.
“Rol?
Rolla?” panggil Lia.
Aku
mengalihkan pandanganku ke gadis cantik itu. Dia tampak kesal.
“Kamu
kenapa sih? Asyik ya melamun itu?” nada suaranya terdengar kesal.
“Aku
sedang mencari inspirasi dari alam,” sahutku. “Kamu mau tanya apa tadi?”
sambungku.
“Setelah
ini mau masuk apa?” ulangnya lalu menghela nafas.
Aku
terdiam sejenak. Meskipun bukan pertanyaan asing namun aku perlu berfikir untuk
menjawabnya.
“Entahlah.
Semua terlalu rumit untuk direncanakan sekarang,” jawabku.
Lia
terlihat tidak puas dengan jawabanku. Sama seperti yang lain.
“Rumit
bagaimana?” tanyanya.
Aku
menatap bola matanya yang menghujam balik mataku. Kembali sukmaku bergetar.
“Semuanya…gelap”
jawabku.
Lia
tidak menghujaniku dengan pertanyaan selanjutnya. Ia terdiam setelah mendengar
jawabanku. Sesekali sambil membaca ia melirik ke arahku.
Aku
ikut membaca bukuku. Aku sedikit terganggu dengan kertas yang basah. Tapi air
itu tidak mampu kutampung. Bahkan tanganku gemetar saat aku memaksa. Di
sebelahku Lia masih memperhatikan tingkahku. Sampai guru masuk kejanggalan itu
baru berakhir.
Pelajaran
berlangsung. Rohku melayang ke dunia lain. Tanah lapang yang menyejukkan jiwa.
Di sana aku tidak perlu bekerja. Yang kubutukan hanya dosis imajinasi yang
sesuai takaran. Dunia mimpi. Meski banyak warna namun tidak membingungkanku.
Meski menantang tidak membuatku jatuh. Dunia malas di mana aku adalah ‘tuhan’
atas diriku. Tuhan, tolong berikan aku dunia itu. Atau ciptakan aku control
atas diriku. Agar aku mampu menentukan arahku dalam melangkah. Segalanya tampak
tidak pasti sebelum aku sempat mengayunkan kaki. Aku tidak suka tenggelam dalam
ketidakpastian.
“Rolla!”
bentakan itu menarik paksa rohku kembali ke sebuah ruang penjamin masa depan.
Setelah
kubuka mataku , seisi ruangan sedang memperhatikanku. Dan seorang guru yang
mengahadapkan wajahnya yang memerah di depanku.
“Ikut
saya ke kantor,” katanya.
“Aku
Sang Pemimpi”. Tulisan itu dia gantungkan di leherku. Dan di depan seluruh
siswa, aku dipaksa berdiri melawan terik matahari. Di antara para penonton
kulihat Lia memandangku dengan iba. Aku membalas tatapannya. Lalu dia berjalan
ke arahku.
“Rol,
kamu tahu apa salahmu?” tanyanya membuatku semakin gerah.
Terik
matahari sangat membakar kulitku. Aku mengacuhkannya.
“Kau
sering bolos. Apalagi pelajaran PKn dan agama,” katanya masih tidak kutanggapi.
“Rol!”
katanya.
“Aku
tidak tahu, tanyakan saja pada Tuhan! Bukankah Dia serba tahu!” jawabku
berteriak menarik perhatian siswa lain.
“Aargghh… sialan!” makiku sambil membanting ransel di kamar.
Entah
siapa yang kumaki. Saat ini yang kurasakan hanyalah marah. Di sekolah Lia
terlalu mendikteku. Guru terlalu mengaturku. Semua tidak bisa mengerti aku.
Bahkan diriku pun tidak tahu apa mauku. Aku benci kebimbangan. Berikan aku
warna yang pasti!
Aku
meringkuk di kasur. Mandiri mengontrol emosi. Urat-urat kepalaku menegang.
Semuanya tampak gelap. Tuhan, apakah warnaku hitam?
Seseorang
mengetuk pintu kamarku.
“Rolli,
kamu kenapa?” suara ibu terdengar khawatir di balik pintu.
“Tidak
apa bu, saya sedang sakit gigi,” jawabku.
“Jangan
lupa sholat ya,” kata ibu.
Seketika
tubuhku kembali memanas. Jantungku berpacu lebas kendali.
“Ah,
malas!” sahutku lalu membenamkan wajah ke bantal.
Suara
ibu tidak terdengar lagi.
“Ibu?”
panggilku.
“Mau
jadi apa kamu kalau lupa pada Tuhanmu?” kata ibu disusul langkah kaki menjauh dari kamar.
Aku
terhenyak. Entahlah ibu, pertanyaanmu sama sepert teman-teman. Aku tidak
membicarakan masa depan. Aku sedang bingung dalam melangkah. Tidak bisakah kau
bantu aku memilih? Agar aku tidak berada di jalan yang salah. Biar aku tahu aku
akan jadi apa. Tuhan, aku ini apa?
Warna
itu Ada di Jiwamu
Hidup
adalah pilihan. Kita hidup untuk memilih. Kalau tidak bisa, tidak mampu, tidak
berani memilih maka lebih baik mati. Filosofi kehidupan yang kupelajari semakin
menghimpit keadaanku. Dan semua semakin gulita ketika kuketahui diriku diriku
mengidap skizofrenia. Penyakit jiwa yang membuatku semakin tidak mengenal
diriku sendiri.
“Kamu
ini sebenarnya bagaimana?” Tanya orang sekitar.
Si
pemilik jiwa ini bahkan tidak mengenal sifatnya. Aku tidak tahu aku akan jadi
apa. Aku bingung saat ini aku apa. Tuhan, untuk kali ini jangan pinta aku
memilih.
Tuhan,
apa benar kau meniupkan ruh di jasad yang tepat. Ataukah tinta takdir-Mu sempat
macet saat menulis kisahku? Kenapa aku harus tenggelam dalam lautan tanya
tentang siapa aku. Apakah aku si putih yang selalu suci dalam setiap hal? Atau
manusia yang tenggelam dalam gelapnya hitam?
Untuk
pertama kalinya aku tidak berdusta dalam menangis. Aku gelisah. Aku lebih benci
kalau salah memilih. Batinku mengerang menangis keras. Disaat kalbuku
benar-benar jatuh kurasakan sepasang tangan mendekapku dari belakang. Dia
berbisik.
“Ambil
kembali kayuh itu anakku. Siapa tahu kau akan temukan kitab hidupmu di salah
satu pulau persinggahan. Mungkin saja Tuhan selipkan di antara riak air yang
kau dayung. Jangan tenggelam bersama sampanmu di tengah sungai. Biarkan ia tiba
di laut. Selanjutnya lihat apa yang takdirmu lakukan. Jangan tanya kau siapa.
Bagiku kau anakku, bagi-Nya kau hamba-Nya, apa lagi yang kau tanyakan?
Bagaimana kau bisa tahu jawabannya kalau kau tidak melangkah?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar